Langsung ke konten utama

Hutang kepada Anak

"Ya Allah ampunilah aku, ibu, dan bapakku, sayangilah mereka seperti saat mereka menyayangi aku di waktu kecil"

Saya mengajarkan sepenggal doa ini kepada putra sulung saya yang berusia tiga tahun empat bulan agar doa itu terpatri kuat, ia lafalkan seusai ia sholat, dan kelak menjadi penyelamat saya di akhirat. Setelah menjadi orang tua saya baru menyadari dalamnya makna frasa "seperti saat mereka menyayangi aku di waktu kecil". Ternyata sedemikian besar rasa cinta dan sayang yang dimiliki orang tua. Rasa cinta dan sayang yang sebelumnya tidak pernah hadir dalam pengalaman merasa. Rasa cinta dan sayang yang penuh keihklasan dan pemakluman akan hal-hal yang nampak salah jika dilihat dari sudut pandang orang dewasa.

Saya ingat betul saat usia saya masih belasan saya pernah berkata kepada ayah dan ibu saya tentang betapa banyaknya cinta, pengorbanan, dan kebaikan yang telah mereka beri untuk saya. Kemudian dalam kesempatan yang sama saya bertanya kepada mereka bagaimana mungkin saya bisa membalas semua itu. Rasanya tidak akan pernah ada bakti anak yang bisa membalas semua kebaikan dan pengorbanan orang tua. Saat itu ayah dan ibu saya menjawab

"nggak usah. Kamu ngga usah membalas apa yang udah mamah dan ayah kasih buat kamu, tapi nanti kamu pasti akan membalasnya ke anakmu"

Dulu saya tidak yakin. Bagaimana mungkin beliau menjamin sesuatu yang belum tentu terjadi? Siapa yang tahu saat saya menjadi orang tua saya pun bisa seperti beliau? Dan pertanyaan tadi baru terjawab saat saya hamil, melahirkan, dan membesarkan anak-anak saya. Dalam waktu beberapa bulan saja saya paham bagaimana rasanya menjadi ayah dan mamah. Saya mengerti mengapa dulu mamah berkata kepada saya bahwa saya kelak pasti bisa membalas kebaikan mereka kepada anak-anak saya. Ada amanah begitu besar saat status telah berubah menjadi orang tua.

Saya pandangi wajah-wajah polos mereka, putra-putri yang berasal dari rahim di tubuh saya. Menyadari betapa cepat waktu berlalu dan betapa banyak hutang pengasuhan saya pada mereka, padahal masa tumbuh kembang mereka tidak bisa saya cegah. Sesungguhnya selama ini saya lah yang meminta kepada Allah untuk menghadirkan mereka dalam hidup saya, tapi saya pula lah yang mengkhianati pilihan yang saya ambil. Saya telah menyia-nyiakan begitu banyak waktu dan kesempatan untuk membalas kebaikan yang telah saya terima.

Wahai diri, masih pantaskah berharap bisa memasuki surga lewat pintu doa anak shalih sementara kewajiban memberikan pendidikan iman, moral, akal, fisik, kejiwaan, soaial, dan seksualitasnya masih belum tuntas engkau tunaikan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Jurnal 4 : SMART Goals dan Sumber Daya

Di sistem umpan balik yang keempat ini saya mendapatkan buddy dari Jakarta, mbak Helena namanya. Beliau seorang ibu bekerja di ranah domestik dan juga aktif sebagai blogger. Saat berkenalan beliau cerita bahwa beliau pernah tinggal di Palu! Obrolan seputar tempat wisata di Palu dan sekitarnya pun mengalir. Ah, rasanya ingin sekali pandemi cepat berlalu jadi saya bisa jalan-jalan yang agak jauh lagi. Sudah lama berencana ke Donggala lagi, atau ke Poso, tapi karena Pandemi jadi tertunda. Paling jauh ke Sibedi di Sigi 😅 Selain ngobrolin tempat wisata di Palu dan sekitarnya, kami juga ngobrolin proses menjalankan tantangan 4 kemarin. Ternyata mbak Helena sama seperti saya yang berjalan bersama tim keluarga, bedanya mbak Helena melibatkan anak-anaknya sedangkan saya hanya dengan suami saja. Proses menentukan SMART Goals pun tidak terlalu sulit, diskusi yang terjadi di tim beliau berjalan lebih santai dan lebih mudah dari sebelumnya. Melihat SMART Goals dan milestone yang dibuat oleh mbak H...

Membangun Karakter di Hexagon City

Pekan ini saya kembali dibuat terkagum-kagum dengan Hexagon City. Konsep Character to Nation yang disampaikan founding mother membuat saya pribadi merinding. Bagaimana tidak? Beliau ingin kami memiliki karakter moral yang sama sebagai Hexagonia untuk membangun peradaban  Hexagon City. Karakter moral yang beliau maksud juga sama dengan karakter moral Ibu Profesional. Karakter moral sendiri diartikan sebagai kumpulan kualitas perilaku moral yang bisa menyatukan dan mendefinisikan secara budaya sebagai perbedaan dari warga lain. Kesamaan karakter moral akan menjadi identitas suatu kelompok. Di Hexagon City ada 3 komponen karakter moral yang harus kami miliki, yaitu:  Moral knowing, yaitu pengetahuan tentang moral. Ada 6 yang berlaku di Hexagon City. Moral feeling, yaitu perasaan tentang moral. Ada 6 yang harus mampu dirasakan oleh para Hexagonia. Moral action, yaitu bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Bisa dilihat dari 3 hal yaitu komp...

Ibu, Kuatlah! Demi Surga Anakmu!

Para pengikut yang setia mendampingi Abdullah bin Zubair makin sedikit, dan ia mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya walau nyawa harus menjadi taruhannya. Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, yang telah berusia hampir 100 tahun dan telah buta matanya. Dia datang untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Abdullah bin Zubair menceritakan kepada ibunya situasi yang sedang dihadapinya. Termasuk berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada pasukan yang dipimpinnya. Jumlahnya memang sangat sedikit. Mendengar penuturan putranya tersebut, Asma’ jadi teringat dengan "ramalan" Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam saat melahirkannya. Inilah masa yang digambarkan oleh Rasulullah untuk putranya, dan ternyata ia ditakdirkan untuk menyaksikan kejadian tragis tersebut. Sebagai seorang ibu yang berhati tegar dan sangat teguh memegang kebenaran, Asma’ berkata, ...