Langsung ke konten utama

TAKSINA Matpok 2 Matrikulasi Reborn HEbAT Community Batch 2

Materi pokok yang kedua adalah mengenai Komunikasi Efektif Dalam Keluarga HEbAT. Satu hal yang mengingatkan saya adalah prinsip komunikasi yang baik juga diatur dalam Al Qur'an. Ternyata ada loh dalam Al Qur'an... Selama ini saya hanya berkutat dengan teori dari barat, ternyata di Al Qur'an sudah ada lebih dulu dan lebih ringkas. Masya Allah...



Membaca materi dan juga diskusi yang dilakukan di Telegrup, saya melakukan refleksi tentang komunikasi yang saya dan suami lakukan. Secara umum sudah sangat baik, kami selalu membicarakan apa pun, karena saya tipe yang tidak bisa menahan atau menyembunyikan masalah jika dengan orang terdekat. Sebisa mungkin dibicarakan dan dicari solusi bersama. Memulai dan membangun komunikasi bukan hal sulit bagi kami, yang masih cukup menantang adalah berkomunikasi dengan lembut dan membekas pada jiwa. 


Menyadari masih ada yang perlu dibenahi dari cara kami berkomunikasi, terutama saya kepada suami dan anak-anak, maka saya mencoba mengidentifikasi tantangan yang saya hadapi dan memetakan solusinya.

Tantangan yang saya hadapi diantaranya

1. Saya menemukan bahwa saya terkadang tidak empati saat berbicara. Saya tidak melihat dan memahami situasi suami atau anak-anak pada saat berbicara dengan mereka, terlebih jika anak-anak baru saja berulah yang menurut saya kurang/tidak baik. Nggak heran kalau apa yang saya sampaikan cuma mampir di telinga saja, nggak sampai ke hati. Hiks.... 

2. Terkadang saya tidak maksimal menjadi pendengar yang baik, terutama bagi anak-anak. Jujur saja, memiliki 3 anak yang semuanya sangat suka bercerita kadang membuat telinga ini lelah mendengar, hiks... Jadi kadang saya hanya mendengarkan selewat saja dan tidak memberi respon yang menyenangkan anak. Di lain waktu, saat saya butuh didengar anak, anak seolah tidak mau mendengar saya huhuhu...

3. Sikap asertif saya perlu terus dilatih. Menjalani peran hidup saat ini, dengan situasi dan kondisi yang seringkali menjumpai ketidaknyamanan, rasa lelah, dan sebagainya, membuat saya lupa bahwa hidup bukan tentang diri saya saja. Cara saya menyampaikan ketidaknyamanan kepada suami atau anak-anak perlu saya perbaiki lagi. Sehingga suami atau anak-anak tidak mendapatkan kesan buruk atau salah sangka dari apa yang saya sampaikan. 


Beberapa ide solusi dan sudah saya coba lakukan adalah

1. Berpikir dua kali sebelum bicara sambil memperhatikan situasi dan kondisi teman bicara. Sejauh ini Alhamdulillah hasilnya baik. Meski membutuhkan waktu, tapi hasil yang didapatkan lebih baik dan menenangkan dibanding jika baru berpikir sekali atau nggak berpikir sama sekali.

2. Meminta izin kepada anak-anak untuk menepi saat saya lelah mendengar. Sebagai seorang yang cukup kuat karakter introvert-nya, saya memang butuh keheningan agar bisa berefleksi dan mendengarkan diri saya sendiri, setelah itu saya bisa kembali dengan pikiran dan hati yang lebih baik. Tentunya telinga saya pun lebih siap mendengar segala sesuatu dari anak-anak.

3. Mengambil jeda untuk mengenali emosi dan keadaan diri dan sekitar sebelum mulai menyampaikan ketidaknyamanan. Setelah saya renungkan, selama ini hal yang membuat saya tidak nyaman sering saya ekspresikan dengan kemarahan. Padahal bisa jadi yang saya rasakan adalah lelah, kecewa, sedih, dan lain-lain. Dengan menjeda dan mengenali emosi apa yang dominan saat itu membuat saya bisa bersikap asertif dengan lebih baik kepada suami dan anak-anak.


Semoga tantangan apa pun yang saya hadapi, kini dan nanti, bisa saya identifikasi dan taklukkan, sehingga di keluarkan kami komunikasi HEbAT menjadi keseharian dan melekat sebagai bagian dari identitas keluarga. Aamiin...




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Jurnal 4 : SMART Goals dan Sumber Daya

Di sistem umpan balik yang keempat ini saya mendapatkan buddy dari Jakarta, mbak Helena namanya. Beliau seorang ibu bekerja di ranah domestik dan juga aktif sebagai blogger. Saat berkenalan beliau cerita bahwa beliau pernah tinggal di Palu! Obrolan seputar tempat wisata di Palu dan sekitarnya pun mengalir. Ah, rasanya ingin sekali pandemi cepat berlalu jadi saya bisa jalan-jalan yang agak jauh lagi. Sudah lama berencana ke Donggala lagi, atau ke Poso, tapi karena Pandemi jadi tertunda. Paling jauh ke Sibedi di Sigi 😅 Selain ngobrolin tempat wisata di Palu dan sekitarnya, kami juga ngobrolin proses menjalankan tantangan 4 kemarin. Ternyata mbak Helena sama seperti saya yang berjalan bersama tim keluarga, bedanya mbak Helena melibatkan anak-anaknya sedangkan saya hanya dengan suami saja. Proses menentukan SMART Goals pun tidak terlalu sulit, diskusi yang terjadi di tim beliau berjalan lebih santai dan lebih mudah dari sebelumnya. Melihat SMART Goals dan milestone yang dibuat oleh mbak H...

Ibu, Kuatlah! Demi Surga Anakmu!

Para pengikut yang setia mendampingi Abdullah bin Zubair makin sedikit, dan ia mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya walau nyawa harus menjadi taruhannya. Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, yang telah berusia hampir 100 tahun dan telah buta matanya. Dia datang untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Abdullah bin Zubair menceritakan kepada ibunya situasi yang sedang dihadapinya. Termasuk berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada pasukan yang dipimpinnya. Jumlahnya memang sangat sedikit. Mendengar penuturan putranya tersebut, Asma’ jadi teringat dengan "ramalan" Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam saat melahirkannya. Inilah masa yang digambarkan oleh Rasulullah untuk putranya, dan ternyata ia ditakdirkan untuk menyaksikan kejadian tragis tersebut. Sebagai seorang ibu yang berhati tegar dan sangat teguh memegang kebenaran, Asma’ berkata, ...

Perjalanan Belajar Terbang Pekan Pertama

Alhamdulillah sudah sampai di pekan pertama tahap Kupu-kupu. Di pekan ini kami diibaratkan sebagai kupu-kupu muda yang baru belajar terbang.  Pembelajaran kali ini menggunakan fitur baru dari Facebook, yaitu fitur Mentorship. Setiap mahasiswa diminta mendaftar menjadi mentor untuk bidang yang dikuasainya, dan menjadi mentee untuk bidang yang akan dipelajarinya sesuai dengan peta belajarnya. Belajar Terbang Sebagai Mentor Awalnya saya bingung akan menjadi mentor di bidang apa. Saya sempat terpikirkan untuk menjadi mentor mengawal perkembangan anak usia 0-6 tahun. Kemudian keesokan harinya saya teringat bahwa selama lebih dari enam tahun kami sudah hidup tanpa TV dan kami bahagia dengan hal itu. Anak-anak kami tetap memiliki waktu melihat layar atau screentime, tetapi waktunya kami batasi dan durasi waktu tersebut sesuai kesepakatan kami dan anak-anak. Alhamdulillah selama ini anak-anak sangat minim aktivitas layar, sehari hanya maksimal 30 menit saja. Biasanya hanya 10-20 menit. Itu...