Langsung ke konten utama

TAKSINA Matpok 3 Matrikulasi Reborn HEbAT Community Batch 2

Materi pokok yang ketiga lebih seru daripada sebelumnya. Setelah 2 materi awal berfokus pada perbaikan komunikasi dan hubungan suami-istri, kali ini kami mulai diajak naik level sebagai orangtua. 
Materi yang diberi nama Mendidik Anak dengan Rileks dan Optimis ini menarik banget. Sebelumnya saya nggak begitu paham yang dimaksud rileks dan optimis itu yang seperti apa. Kadang saya juga bingung sendiri perasaan rileks namun optimis ini yang bagaimana, apakah yang saya rasa dan lakukan sudah tepat? Atau saya hanya menduga-duga saja?

Ternyata rileks bermakna tidak menekan dan melelahkan jiwa, sedangkan optimis merupakan keyakinan yang bisa membangkitkan semangat untuk bergerak lebih baik, tak mudah patah, lemah, dan terpuruk. Kedua hal ini bersumber dari hati, nggak bisa pura-pura...
Dan, rileks serta optimis ini penting banget buat bekal menjalani proses HE, karena kadang, nggak dipungkiri, kita melihat keluarga lain atau anak lain beserta dengan pencapaian mereka, lalu membandingkannya dengan keluarga sendiri atau anak sendiri hiks... Makanya memahami konsep HE, memahami keluarga sendiri, juga bersikap rileks dan optimis penting banget di sini.

Alhamdulillah sampai hari ini kami masih melakukan home education kepada ketiga anak kami. Insya Allah si sulung yang sudah berusia 7 tahun pun mantap untuk tidak bersekolah formal. Kami memang masih meraba, akan bagaimana nanti mendampingi proses HSnya, namun kami berusaha untuk mengikuti binar matanya dan memohon bimbingan Allah agar kami tak salah langkah...

Ah, ya, sebenarnya yang kami lakukan selama ini pun sudah merupakan bentuk rileks dan optimis kami sebagai orang tua saat menjalankan proses HE ya... Beberapa hal yang sudah kami lakukan selama ini



1. Saat anak lain sudah bisa baca tulis dan si sulung (yang waktu itu 6 tahun) belum bisa, kami santai saja dan yakin kelak akan tiba waktunya ia bisa baca tulis. Tentunya sambil kami fasilitasi kesukaannya dibacakan buku dan melatihnya untuk bisa membaca juga melakukan aktivitas pre writing skill. Alhamdulillah belum genap 7 tahun ia sudah bisa membaca... Kini di usia 7 tahun ia sudah lancar baca tulis. Bahkan membaca buku yang cukup tebal dan banyak teks-nya juga ia sudah bisa lakukan tanpa bosan. Masya Allah...

2. Masih dengan cerita si sulung, ia yang telah berusia 7 tahun tentu jika dibandingkan dengan anak lain, maka sudah seharusnya ia bersekolah. Kami yang memilih jalur sekolah rumah untuknya tak jarang mendapat pertanyaan dari sekitar. Awalnya saya agak sungkan menjawab, entah karena nggak PD, atau takut salah jawab, atau takut terlihat lemah karena dibandingkan dengan sekolah... Tapi setelah saya memahami perkembangan anak, memahami konsep HE dan HS dari berbagai sumber, menjalani keseharian bermakna dengan anak, juga berdiskusi dengan suami, saya bisa menjawab pertanyaan seputar proses HS anak dengan lebih santai dan optimis. Kami memang tidak banyak berfokus pada hal-hal akademis, di pendidikan agama pun kami nggak menerapkan hapalan Al Qur'an, namun kami berusaha untuk tetap mendekatkan ia dengan ilmu, membuatnya mencintai ilmu, juga memaparnya dengan bacaan Al Qur'an. Tentu, proses kami masih jauh dari sempurna, namun kami berusaha untuk terus memperbaiki proses ini.

3. Fokus pada cahaya anak, itu yang selalu kami upayakan. Salah satu hal yang saya lakukan untuk bisa fokus dengan cahaya anak adalah dengan sering-sering melewatkan postingan orangtua lain di media sosial yang saya miliki, hahaha... Karena saya termasuk orang tua yang kadang muncul bakat competitive-nya, pengen juga anak diakui bisa begini begitu, pengen pamer kehebatan anak, dll. Dengan melewatkan "pameran" dari orang tua lain cukup membuat saya waras, tidak membuat saya merasa perlu melakukan hal yang sama juga. Hahaha... Berpegang pada prinsip yang diajarkan bapak ideologis kami, pak Dodik, juga cukup membuat saya bisa tahan melewatkan begitu banyak "pameran" di lini media sosial saya. Apa prinsipnya? Semua yang ada di internet itu salah, sampai terbukti benar. Kehidupan yang ditampilkan di media sosial itu hanya seujung kuku dari seluruh kehidupan yang dimiliki oleh si empunya.

4. Banyak memohon bimbingan kepada Allah, agar bisa mendidik dan mendampingi anak-anak dengan baik. Rileks tapi nggak abai, optimis tapi nggak jumawa. Semoga Allah senantiasa menuntun diri ini menjadi orang tua yang baik dan berakhlak mulia. Aamiin...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Jurnal 4 : SMART Goals dan Sumber Daya

Di sistem umpan balik yang keempat ini saya mendapatkan buddy dari Jakarta, mbak Helena namanya. Beliau seorang ibu bekerja di ranah domestik dan juga aktif sebagai blogger. Saat berkenalan beliau cerita bahwa beliau pernah tinggal di Palu! Obrolan seputar tempat wisata di Palu dan sekitarnya pun mengalir. Ah, rasanya ingin sekali pandemi cepat berlalu jadi saya bisa jalan-jalan yang agak jauh lagi. Sudah lama berencana ke Donggala lagi, atau ke Poso, tapi karena Pandemi jadi tertunda. Paling jauh ke Sibedi di Sigi 😅 Selain ngobrolin tempat wisata di Palu dan sekitarnya, kami juga ngobrolin proses menjalankan tantangan 4 kemarin. Ternyata mbak Helena sama seperti saya yang berjalan bersama tim keluarga, bedanya mbak Helena melibatkan anak-anaknya sedangkan saya hanya dengan suami saja. Proses menentukan SMART Goals pun tidak terlalu sulit, diskusi yang terjadi di tim beliau berjalan lebih santai dan lebih mudah dari sebelumnya. Melihat SMART Goals dan milestone yang dibuat oleh mbak H...

Belajar Jadi Fasilitator A Home Team

Hai-hai...  Saya punya cerita baru. Hehehe...  Jadi ceritanya saya lagi ikutan training fasilitator A Home Team dari ahometeam.id. A Home Team ini merupakan salah satu produknya Padepokan Margosari, keluarga panutan kami.  Dulu~ tanggal 14 Januari 2018 saya mengikuti workshop A Home Team yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional Jogja. Pak Dodik dan Bu Septi langsung yang memberi materi. Perasaan saya waktu itu? Waaah seneng bangett~ saya bersyukur bisa ikutan workshop meski nggak bisa couple sama suami karena beliau jagain anak-anak. Setelah workshop saya dapat bekal untuk membangun tim keluarga dan saya merasakan keluarga kami menjadi lebih kompak.  Sekarang, saya belajar lagi tentang A Home Team dengan niatan ingin menguatkan home team kami lewat berbagi dengan keluarga lain sebagai fasilitator. Meski materinya masih basic, namun tetap ada hal baru yang saya dapatkan. Apalagi keadaan keluarga kami dan tantangan yang kami hadapi sudah berbeda dengan empat tahun lal...

Membangun Karakter di Hexagon City

Pekan ini saya kembali dibuat terkagum-kagum dengan Hexagon City. Konsep Character to Nation yang disampaikan founding mother membuat saya pribadi merinding. Bagaimana tidak? Beliau ingin kami memiliki karakter moral yang sama sebagai Hexagonia untuk membangun peradaban  Hexagon City. Karakter moral yang beliau maksud juga sama dengan karakter moral Ibu Profesional. Karakter moral sendiri diartikan sebagai kumpulan kualitas perilaku moral yang bisa menyatukan dan mendefinisikan secara budaya sebagai perbedaan dari warga lain. Kesamaan karakter moral akan menjadi identitas suatu kelompok. Di Hexagon City ada 3 komponen karakter moral yang harus kami miliki, yaitu:  Moral knowing, yaitu pengetahuan tentang moral. Ada 6 yang berlaku di Hexagon City. Moral feeling, yaitu perasaan tentang moral. Ada 6 yang harus mampu dirasakan oleh para Hexagonia. Moral action, yaitu bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Bisa dilihat dari 3 hal yaitu komp...