Langsung ke konten utama

Stabilitas Emosi

Hari ini adalah hari kelima saya di kampung halaman di Kuningan. Setiap kali mudik, saya selalu merasakan kemalasan luar biasa untuk melakukan aktivitas produktif yang biasanya saya lakukan saat saya di perantauan. Termasuk untuk menuliskan progres tantangan sepuluh hari ini. Huhuhu.

Sebenarnya kemalasan saya untuk berkegiatan seperti saat belum mudik adalah karena saya merasa nyaman dan ingin menikmati liburan ini dengan seksama. Hihihi. Tapi ya namanya ini PR yang harus disetorkan apalah daya saya pun harus tetap menyempatkan diri untuk menuliskan progres tantangan sepuluh hari saya.

Sangat menyenangkan. Sangat sukses. Mungkin karena selama di sini saya merasa bahagia dan tidak ada beban kali ya. Fokus saya hanya membersamai anak-anak. Tidak ada tekanan dari pekerjaan rumah tangga. Pun karena ada ibu dan adik saya jadi saya pun tidak begitu repot dalam mengurua anak-anak. Emosi saya menjadi jauuuhh lebih stabil, tetap bahagia, dan anak-anak pun bahagia. Karena ibu mereka bahagia, karena ada teman main lain bagi mereka selain ibunya. Alhamdulillaah...

Faiq tidak pernah tantrum dan terlihat lebih bahagia. Komunikasi saya dan Faiq bisa lancar dan kami pun lebih mesra. Situasi yang sangat kondusif ini sangat membantu saya dalam menginternalisasi hal-hal baik padanya.

Tetapi konsekuensi dari liburan ini adalah terpisahnya saya dari suami. Suami masih di Solo. Kami jadi jarang berkomunikasi, hanya sesekali saja via chat whatsapp dan video call di saat suami sedang tidak sibuk dengan tugas kuliahnya.
.
.
Kuningan, 14 Juni 2017
#catatanbelajarbunfasya
#level1
#day7
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Jurnal 4 : SMART Goals dan Sumber Daya

Di sistem umpan balik yang keempat ini saya mendapatkan buddy dari Jakarta, mbak Helena namanya. Beliau seorang ibu bekerja di ranah domestik dan juga aktif sebagai blogger. Saat berkenalan beliau cerita bahwa beliau pernah tinggal di Palu! Obrolan seputar tempat wisata di Palu dan sekitarnya pun mengalir. Ah, rasanya ingin sekali pandemi cepat berlalu jadi saya bisa jalan-jalan yang agak jauh lagi. Sudah lama berencana ke Donggala lagi, atau ke Poso, tapi karena Pandemi jadi tertunda. Paling jauh ke Sibedi di Sigi 😅 Selain ngobrolin tempat wisata di Palu dan sekitarnya, kami juga ngobrolin proses menjalankan tantangan 4 kemarin. Ternyata mbak Helena sama seperti saya yang berjalan bersama tim keluarga, bedanya mbak Helena melibatkan anak-anaknya sedangkan saya hanya dengan suami saja. Proses menentukan SMART Goals pun tidak terlalu sulit, diskusi yang terjadi di tim beliau berjalan lebih santai dan lebih mudah dari sebelumnya. Melihat SMART Goals dan milestone yang dibuat oleh mbak H...

Membangun Karakter di Hexagon City

Pekan ini saya kembali dibuat terkagum-kagum dengan Hexagon City. Konsep Character to Nation yang disampaikan founding mother membuat saya pribadi merinding. Bagaimana tidak? Beliau ingin kami memiliki karakter moral yang sama sebagai Hexagonia untuk membangun peradaban  Hexagon City. Karakter moral yang beliau maksud juga sama dengan karakter moral Ibu Profesional. Karakter moral sendiri diartikan sebagai kumpulan kualitas perilaku moral yang bisa menyatukan dan mendefinisikan secara budaya sebagai perbedaan dari warga lain. Kesamaan karakter moral akan menjadi identitas suatu kelompok. Di Hexagon City ada 3 komponen karakter moral yang harus kami miliki, yaitu:  Moral knowing, yaitu pengetahuan tentang moral. Ada 6 yang berlaku di Hexagon City. Moral feeling, yaitu perasaan tentang moral. Ada 6 yang harus mampu dirasakan oleh para Hexagonia. Moral action, yaitu bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Bisa dilihat dari 3 hal yaitu komp...

Ibu, Kuatlah! Demi Surga Anakmu!

Para pengikut yang setia mendampingi Abdullah bin Zubair makin sedikit, dan ia mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya walau nyawa harus menjadi taruhannya. Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, yang telah berusia hampir 100 tahun dan telah buta matanya. Dia datang untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Abdullah bin Zubair menceritakan kepada ibunya situasi yang sedang dihadapinya. Termasuk berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada pasukan yang dipimpinnya. Jumlahnya memang sangat sedikit. Mendengar penuturan putranya tersebut, Asma’ jadi teringat dengan "ramalan" Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam saat melahirkannya. Inilah masa yang digambarkan oleh Rasulullah untuk putranya, dan ternyata ia ditakdirkan untuk menyaksikan kejadian tragis tersebut. Sebagai seorang ibu yang berhati tegar dan sangat teguh memegang kebenaran, Asma’ berkata, ...